Thursday, August 10, 2017

Godta Vercetti: "Perahu Jadi, Let's Go!"

Singkat cerita, perahu sudah jadi. Dua bulan waktu yang saya butuhkan untuk membuat perahu. Soal modal, banyak sekali kayu yang tersedia di pulau ini. Sekaligus gergaji dan perkakas penting lainnya yang sebelumnya saya ceritakan bisa ditemukan di gua. Tergeletak tanpa pemilik, membantu saya dalam bekerja. Ayo kerja!

Kayaknya sih pulau ini pernah berpenghuni. Tapi, entah sepertinya memang tandus. Sumber makanan tidak banyak ditemukan. Ikan yang tersedia di laut juga musiman. Jadi orang-orang mungkin memutuskan migrasi ke tempat yang lebih proper. Jadi saya cuma satu-satunya manusia di pulau ini. Tapi saya tidak sendirian. Kan, ada hologram interaktif dan teman interaktif lainnya. Seperti pohon yang bisa ngomong. Sekalipun bisa ngomong, mereka gak ada yang tahu kenapa ada perkakas manusia di dalam gua.

Dalam proses membuat perahu, hidup agak hampa. Iya apa lagi, masalahnya gak ada rokok sih. Itu aja masalahnya.  Tapi untung ada pohon-pohon yang bisa ngomong ini. Nah, saya mau cerita sedikit soal pohon-pohon itu. Singkat cerita, empat hari pertama saya setelah keluar dari gua untuk mengambil perkakas, tak ada satu pohon-pun yang bicara. Sampai di hari ke lima, salah satu pohon tersedak, batuk. Reaksi itu terjadi karena saya sedang berusaha menebang yang bersangkutan. Kaget juga saya. Sebab saat batuk, pohon itu juga tiba-tiba menghadirkan wajah dan berbicara. 

"Jangan gue, yang lain aja, tuh yang sebelah sono aja pohonnya gak bisa ngomong," katanya sambil menunjuk pohon yang berjarak sekitar... 100 meter lah dari dia.

Sebelum si pohon kembali diam, saya ajak dia bicara, tak peduli dengan pohon lain yang ditunjuknya agar saya tebang, saya lebih mementingkan untuk berbicara dengan dia. Btw, suara doi ngebass, jadi saya panggil abang.

"Bang, udah lama di sini?" tanya saya.
"Iya dari lahir, lah. Bego amat lu, emang gue orang bisa jalan," jawabnya.
"Iya juga ya," gumam saya.

Sejak saat itu saya akrab dengan si pohon itu. Usianya sekitar 67 tahun, ngakunya dia sih. Memiliki nama, tapi namanya sulit diingat. Caesilo...lopus...to..akro...coy. Gatau dah, susah. Pokoknya panggilannya 'Abang'. Kurang lebih si Abang ini jadi teman ngobrol saya di pulau ini, beserta beberapa Abang Pohon dan Tante Pohon lainnya. Bukan berarti karena ada panggilan Abang dan Tante, pohon punya kelamin. Tapi ada yang suaranya kayak Laki dan ada yang kayak Perempuan. Gitu aja cara saya ngebedain panggilan. Yang suaranya mirip Laki dipanggil Abang, yang mirip Perempuan dipanggil Tante.

Lalu bagaimana dengan hologram interaktif? Saya lebih memilih berinteraksi dengan pohon ketimbang hologram interaktif. Pohon-pohon ini kadang suka mau tau urusan orang. Kadang bisa ngelawak juga. Jadi percakapan lebih terasa dua arah. Gak tau ya belajar ngobrol dan ngelawak dari mana. Atau mungkin 60 tahun lebih umurnya dihabiskan untuk ngobrol aja sama pohon lain yang bisa bicara jadi lama-lama bisa ngelawak. Kali aja. Kalau si hologram interaktif sih, gitu aja. Kalau didiamkan, ya dia diam juga. Namanya juga hologram. Artifisial. Kadang si hologram buat saya maki-maki aja. Dia juga gak punya hati. Kan artifisial.

Nah, selama dua bulan, sembari tebang-pilih pohon, sembari memukul paku dengan palu, sembari menyerut kayu agar halus dan ditiriskan, lalu dihidangkan, saya juga ngobrol dengan Abang-Tante pohon. Selama dua bulan itu, perasaan selalu bermacam-macam. Apalagi soal mood bikin perahu. Kadang malas, tapi kalau ingat gak ada rokok di sini rasanya ingin cepat-cepat pergi deh. Untung gak kesepian. Yasudah, perahu sudah jadi. Berukuran 8x2 meter, dengan tinggi 1,5 meter, dengan tenaga kayuh model gowes. Macam bebek-bebekan lah. Ayo kita berangkat.

Pamitlah saya dengan Abang-Abang di sini. Tadinya mau saya peluk tuh pohon-pohon yang bisa ngomong. Tapi tadi malam hujan, jadi batang-batang si Abang-Tante pada basah... *rasanya aneh nih nulis ini*

Ciao, ombaknya tenang, saya berjalan ke arah utara dari pulau itu... Btw, saya gak yakin kalau arah yang saya ambil itu utara.  

Setelah satu jam perjalanan, di tengah jalan, saya lihat ada warung terapung. Saya samper aja. 'Warung Ngambang, Jual Rokok, Kopi, dan Ketumbar,' seperti tertulis di papan depan warung. Mampir lah saya.

"Permisi beli rokok," kata saya

Saya lihat seorang Ibu sedang asik rebahan sambil nonton TV. Dia yang menyambut kedatangan saya.

"Berapa Boy?" tanya Ibu itu.
"Dua bungkus, sama kopi satu gelas," jawab saya sambil merogoh tas yang berisi uang yang tak terpakai karena di pulau gak ada yang jualan, gak ada yang butuh uang, dan gak ada yang peduli juga.

Enjoy sekali. Saya memilih untuk beristirahat sejenak, menikmati suasana di tengah laut sambil berpikir... "Si Ibu nonton TV di tengah laut, darimana listriknya?"

No comments:

Post a Comment