Sunday, December 9, 2012

Abstraksi Seni

Muthahhari

Kita adalah seniman dalam sebuah perjalanan hidup. Kita juga pengamat seni dalam perjalanan hidup orang lain. Tetapi seni tidak terbatas pada hal itu. Secara harfiah "seni" sendiri hanyalah kata yang menyimbolkan tentang apa yang kita ketahui sebagai seni. Sementara yang kita ketahui, definisi tentang seni sangat beragam dari berbagai pandangan.

Kita berada pada proses dialog antar pengalaman manusia yang tak pernah berhenti. Yaitu sebuah pengalaman manusia berbicara tentang sesuatu terhadap manusia yang lain. Sebagai pendengar suatu pengalaman, kita bisa mempelajari bahwa ada sikap - sikap tertentu yang kita rasa perlu lakukan dalam permasalahan yang kita dengarkan. Pada akhirnya permasalahan selalu berujung pada penciptaan sebuah sikap yang sebaiknya atau tidak sebaiknya kita lakukan. Kita biasa menyebutnya sebagai pembelajaran.

Kita mungkin dibatasi oleh suatu penciptaan itu sendiri. Sebutlah dalam dunia menulis, misalnya, kita dibatasi oleh kaidah - kaidah penulisan dalam upaya menyampaikan sebuah pikiran. Kaidah penulisan itu sendiri merupakan proses pembelajaran yang secara berangsur - angsur dialami dan disimpulkan oleh manusia sebagai bentuk ideal dari sebuah penulisan. Tetapi di sisi lain, bukankah kesimpulan tentang kaidah menulis tidak pernah berada sampai batas akhir ? Untuk sementara, kita memang tidak tahu jika ada cara yang lebih baik dalam menulis ketimbang yang kita ketahui sekarang. Lalu, apa akhirnya kita harus membenci kaidah penulisan yang telah ada ?

Kaidah penulisan adalah sebuah penciptaan empiris. Ia membatasi kita dalam tata cara penyampaian, tetapi memang tidak ada cara lain ketimbang cara yang terbatas itu. Suatu penciptaan akan norma dan nilai memang selalu membatasi manusia. Sebutlah jika pasal - pasal tentang kriminalitas adalah karya sekumpulan manusia dalam upaya untuk menciptakan keharmonisan dalam suatu negara. Ya, kita merasa aman dengan hal tersebut karena dapat menekan angka kriminalitas. Setidaknya kita menjadi lebih terhindar dari perbuatan kriminal baik yang datang dari diri sendiri maupun orang lain. Tetapi bukankah aturan itu menciptakan sebuah seni antagonis yang baru ? Bagaimana seorang kriminal bisa membunuh tanpa harus ketahuan pihak yang berwenang mengatasi kriminalitas. Bukankah hal tersebut merupakan potensi bagi bentuk seni yang secara umum kita kenal ? Coba saja jika divisualisasikan dalam bentuk film. Yang tokoh utamanya merupakan seorang pembunuh. Sehingga dalam layar kita bisa melihat setiap alasan dan tindakan langsung dari sudut pandang si pembunuh itu sendiri. Sekaligus kita bisa menikmati sebuah keindahan dari proses membunuh.

Manusia selalu memiliki keinginan untuk berkarya. Menuangkan suatu hasrat untuk bisa menciptakan keindahan. Keindahan yang subyektif. Saya bilang subjektif karena setidaknya dalam proses penciptaan keindahan, ada nilai - nilai yang dipegang. Beberapa orang menganggap garis lurus itu bagus. Beberapa yang lain lebih menyukai garis melengkung. Begitu pula perjalanan hidup, ada yang menikmatinya dengan pasrah, adapula yang menikmati setiap tantangan.

Jika hidup merupakan sebuah seni. Sementara dalam sebuah karya seni yang kita ketahui, kita berkarya atas dasar cinta. Dalam bentuk yang lebih ekspresif, bukankah cinta itu terekspresi dalam sebuah kerinduan, kegelisahan, kebahagiaan ataupun ketenangan ? Bukankah dengan begitu kita memang senantiasa berkarya dalam menghadapi kenyataan ? Kenyataan sendiri merupakan sebuah karya seni Tuhan yang tak akan pernah tertandingi. Sementara karya seni yang kita ciptakan bukannya untuk menandingi karya seni Tuhan. Seni yang kita ciptakan merupakan sebuah bentuk kerendah-dirian manusia bahwa kita tidak akan pernah bisa menyaingi karya Tuhan. Kita berkarya karena kita mencintai karya Tuhan, setidaknya diri kita sendiri. Karya seni manusia merupakan dialog manusia kepada dirinya sendiri ataupun kepada manusia yang lainnya dalam menghadapi atau sekedar merasakan karya seni Tuhan. Setiap kenyataan.

No comments:

Post a Comment