Monday, December 3, 2012

Hidup Untuk Sebuah Kedunguan

Muthahhari

“Tak akan berhenti adalah horor sebenarnya,” itu kata Slavoj Zizek. Kierkegaard juga bilang “manusia akan selalu sakit hingga mati”.

 Manusia butuh berhenti, dari segala sesuatunya bahkan yang ia sukai. Ya, kalau tidak hal itu merupakan horor sendiri. Bayangkan jika anda penikmat seks dan tidak mampu mencapai klimaks hingga anda harus melakukan seks sepanjang hayat demi mencari sebuah klimaks. Horor. Suatu keberhentian sebenarnya salah satu upaya kenyataan untuk membuat kita agar tidak bosan. Ah, masa iya saya terlalu mengkonformasi sebuah kebetulan itu. Lalu apa tujuan hidup untuk sekedar mati?.

Kita mencoba menjawab pertanyaan – pertanyaan yang bersifat metafisis, lalu memberikan petunjuk bagi orang lain yang sedang dihadapi problematika hidup. Tapi bukan berarti menggurui, kita hanya berekspresi, bisa jadi berkarya. Berbicara melalui simbol yang kita buat, propaganda. Gampang, media sosial sudah bisa memenuhi hasrat untuk menuangkan pikiran dalam bentuk teks. Bisa jadi dalam obrolan, chat, kita membantu orang tersebut, sehingga orang lain bisa mendapati makna yang kita berikan. Lalu keesokan harinya kita tidak sengaja mati. Maka setidaknya kita sudah berjasa bagi satu orang. Lagipula tak perlu dipendam jasa – jasa yang telah kita lakukan, lupakan.

Berupaya mencari kebenaran itu-kan memenuhi nilai estetika ketika menghadapi kematian. Bagaimana tidak, sebagai pihak yang netral antara orang yang mati dan tidak, saya akan mengatakan,” jika orang mati itu berjasa pada orang – orang yang belum mati melalui karyanya, pola pikirnya, ataupun upayanya menciptakan surga, ia akan memberikan kesan baik terhadap orang – orang yang masih hidup. Lalu berbagai pujian datang kepada orang yang mati.” Lalu carilah makna itu, sebuah fase gampang – gampang susah setelah lahir dan sebelum mati. Mencari makna. Mati dalam keadaan bermakna. Hidup dimulai - memberikan makna - hidup berakhir. Lalu bayangkan jika manusia tidak bisa mati, terus mencari makna dalam sebuah kebahagiaan dan kepahitan. Mencapai margin yang saya asumsikan sebagai “lelah dalam kebahagiaan dan kesengsaraan. “ Jadi, kematian itu impian bukan? Ya, buat saya, kematian yang bermakna adalah impian, tapi bukan sekarang.

Silahkan katakan saya idiot atau apapun

No comments:

Post a Comment